Pendidikan Transformatif

Segi Tiga Emas Pendidikan Transformatif
(Teori Hanif)

Pendidikan transfomatif merupakan pendidikan yang melakukan proses perubahan ke arah yang lebih baik. Proses perubahan bagi dirinya (self transformation) maupun perubahan bagi lingkungannya (environment transformation). Pendidikan transformatif menawarkan cita-cita ideal bagi dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan akan selalu mengarah pada idealisme pendidik, peserta didik, dan donatur pendidikan.

Idealisme pendidik
merupakan faktor utama dalam memberikan proses transfer ilmu kepada peserta didik, memberikan transfer ilmu yang matang dan mendalam (komprehensif) sehingga peserta didik termotivasi untuk terus berkembang sesuai dengan minat belajar yang ingin mereka kembangkan.

Idealisme peserta didik
merupakan langkah awal untuk menumbuhkan semangat belajar yang tinggi (ghiroh) dalam melakukan usaha transformasi diri. Peserta didik yang memiliki idealisme akan selalu melakukan proses transforming (perubahan) untuk selalu tumbuh dan berkembang, mereka tidak hanya berhenti pada proses merekam plejaran atau ilmu yang telah mereka peroleh tetapi berlanjut pada proses mengembangkan dengan cara mengaplilkasikan ilmunya baik dalam kehidupannya sehari-hari maupun bagi lingkungannya, mencari pengalaman dengan melakukan berbagai percobaan, penelitian, perbandingan dan sebagainya. faktor pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah

Idealisme Donatur Pendidikan
, karena kebutuhan dan keharusan akan hadirnya pendidikan ideal bukanlah cita-cita dari satu atau dua orang saja, melainkan siapa pun yang memiliki konsen (perhatian) pada dunia pendidikan yang saat ini nilai-nilai pendidikan makin lama makin pudar tergerus liatnya getah ekonomi atau jauh dari proses pendidikan yang mencerahkan dan memiliki orientasi pragmatis (bagaimana guru / pendidik bisa makan, murid / peserta didik cepat lulus dan kerja sesuai dengan jurusannya, donatur / pemilik yayasan pendidikan mendapatkan keuntungan surplus dari modal yang telah mereka keluarkan untuk investasi pendidikan). Donatur yang ideal tidak berat pada aspek ekonomi melainkan pensinergian dari kemampuan finansial yang mereka miliki untuk membangun dan mengembangkan pendidikan ideal secara makro (entitas yang meliputi penyedia kesejahteraan bagi pendidik, fasilitas yang memadai bagi peserta didik). peran donatur pendidikan juga sangat signifikan bagi penyelenggaraan pendidikan tranformatif, tentunya secara otomatis donatur pendidikan akan menerima cash back (keuntungan balik) berupa nilai-nilai ideal yang melebihi nilai-nilai materi yang telah mereka sumbangkan. tiga aspek inilah yang selanjutnya dengan kerendahan hati saya Hanif Syauqi menyebutnya dengan teori segi tiga emas pendidikan transformatif.

Pendidikan Transformatif

Berpikir Besar Dalam Dunia Pendidikan

Dunia merupakan tempat berpijak orang banyak dengan berbagai macam karakter individunya. Pendidikan adalah sebuah proses di mana semua orang berusaha untuk menjadi lebih baik bahkan terbaik dalam menjalani hidup mereka di dunia ini. Dunia Pendidikan adalah arah dari visi kita tentang perubahan ke arah yang lebih baik (transformatif) untuk menggapai segala impian yang ingin kita capai di alam ini. Oleh karena itu Ideal mencari pendidikan bukan untuk work oriented atau belajar untuk mencari kerja, melainkan self transformation yaitu perubahan diri kita ke arah yang lebih baik dan maju dalam mengimbangi perubahan berbagai sektor kehidupan baik secara individu, ekonomi, politik, sosial, maupun moral dan mental.

Dengan bekal self tranformation maka perubahan tidak hanya terbatas dan khusus untuk diri kita saja, tetapi perubahan bagi orang lain dan sekitar kita. Sangat perlu sekali bagi mereka yang mempunyai potensi pengetahuan, pengalaman, termasuk finansial, untuk bekerja sama menghasilkan sebuah dunia pendidikan yang inovatif agar lebih menarik, juga progressif agar hasil pendidikan dapat memberikan perannya dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan zamannya.


Mengolah basic mind pendidikan yang ideal (2)



Oleh:

HANIF SYAUQI








Impian mendirikan sebuah instansi pendidikan yang ideal tentunya harus mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan perhatian yang kompleks tentang segala hal. Sekian dari perhatian yang kompleks tersebut antara lain yang perlu kita pertimbangkan adalah dari segi donator, system seleksi penerimaan calon peserta didik.

Mencita-citakan sebuah instansi pendidikan ideal yang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, baik menengah ke bawah maupun menengah ke atas tentunya memerlukan orang-orang yang tangguh secara materi maupun pemikiran yang nantinya digunakn untuk menyokong kelancaran proses pendidikan tersebut. Orang-orang semacam ini ini kita posisikan sebagai para donatur yang akan membantu eksisnya pendidikan transformatif (yang membawa perubahan sekaligus mencerahkan) di tengah masyarakat.

Pendidikan transformatif ini sangat-sangat perlu dukungan dan kerja sama para donatur untuk membiayai semua kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalamnya. Ini merupakan sebuah investasi yang tidak mengharapkan output materi namun sebuah outcome dari berdirinya sebuah lembaga pendidikan. Yaitu para lulusan atau alumni yang dapat menghasilkan atau membawa perubahan masyarakatnya ke arah yang lebih baik dari berbagai krisis yang melanda negeri ini.

Diharapkan nantinya semua lapisan masyarakat dapat menikmati proses pendidikan transformatif ini dengan cuma-cuma, namun masih benar-benar memperhatikan system seleksi penerimaan calon peserta didik agar instansi ini mempunyai bargain atau nilai tawar di mata masyarakat dan tidak asal menerima calon peserta didik meskipun pendidikan ini disediakan gratis bagi mereka. Para calon peserta didik nantinya akan tetap kompetitif untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam proses pendidikan yang ideal, progressif, dan inovatif ini. Karena mereka semua sebenarnya memiliki potensi yang masih terpendam, dan akan coba distimulasi agar keluar menjadi potensi actual.






Pendidikan Ideal (1)

Mengolah basic mind pendidikan yang ideal (1)


Oleh:

HANIF SYAUQI




Berawal dari ide sederhana yang melihat dan mengamati bahwa arah perkembangan pendidikan pada era modern ini tidak lagi mempertimbangkan faktor manusiawi atau sisi humanisme dalam pendidikan, yakni pendidikan sebagai kebutuhan dasar semua manusia untuk melakukan proses transformasi (perubahan) bagi diri dan kehidupan ini atau kita sebut dengan memanusiakan manusia “bila manusia itu tiada berilmu maka sama halnya dengan binatang yang hanya akan mengandalkan instingnya saja”. Pada tataran riilnya pendidikan modern lebih berporos pada roda ekonomi, sehingga yang terjadi adalah hubungan ekonomi dan pendidikan yang lebih banyak menguntungkan sisi ekonomi daripada pendidikan yang jauh dari ideal, monoton atau tidak progressif dan usang atau tidak inovatif. Sebaliknya pola pendidikan saat ini lebih mengandalkan ekonomi pasar untuk membuat kemajuan dalam dunia pendidikan, karena lebih memprioritaskan bagi mereka yang berduit yang akan mendapatkan jatah layak untuk menikmati pendidikan ideal, progressif dan inovatif. Oleh karena itu perhatian terhadap peserta didik, pendidik, ilmu (bahan atau materi pendidikan), sarana dan fasilitas pendidikan merupakan pertimbangan nomer dua setelah pertimbangan ekonomi.

Mengapa demikian? Karena ekonomi dalam pendidikan telah memandang posisi peserta didik sebagai objek yang dapat menghasilkan pertambahan nilai ekonomi. Sehingga faktor ekonomilah yang dianggap sebagai penentu bagi keberlangsungan peserta didik untuk dapat menikmati proses belajar yang ditawarkan oleh instansi pendidikan. Tentunya hal ini dilandasi dengan pandangan yang meyatakan bahwa pendidikan itu tak terpisahkan dengan modal dan uang bukan ilmu dan pencerahan. Kalaupun ada pencerahan yang diberikan, itu pun sekedar memberikan kompensasi dari besarmya rupiah yang telah dibayar oleh peserta didik, dan sifatnya jual beli pendidikan yang menghasilkan produk pendidikan instant dan berorientasi pada kerja bukan pada transformasi diri.

Maksud dari pencerahan ini ialah bagaimana menumbuhkan minat atau antusias yang tinggi pada peserta didik dalam bidang keilmuan, yang ditandai dengan melakukan proses aktual (actual process) berupa pengamalan atau aplikasi serta eksperimen dari ilmu yang sudah mereka terima. Sehingga ilmu tersebut dapat meresap dan berkembang menjadi pengalaman yang aktual bagi hidupnya kelak. Sebab “belajar di usia dini bagai mengukir di atas batu dan belajar di usia lanjut bagai mengukir di atas air”. Maka dari sini akan muncul karakter peserta didik yang progressif (berkembang).

Peserta didik yang progressif tentunya tidak lepas dari pendidik yang mempunyai visi ideal. Pendidik bervisi ideal yaitu memandang proses transfer ilmu yang ia berikan adalah merupakan bahan transformasi bagi kehidupan anak didiknya kelak, dan dapat memberikan pencerahan dalam memandang sebuah kehidupan ini. Pendidik bervisi ideal menganggap eksistensinya berkecimpung dalam dunia pendidikan bukan karena profesi tapi karena pengabdian dan pengamalan ilmu yang pernah ia dapat sebelumnya. Dalam istilah lebih lanjut saya sebut sebagai pendidik yang visioner. Seorang pendidik yang visioner tidak lagi mempersoalkan masalah perut (saya akan makan apa besok?), karena proses transfer ilmu yang ia berikan kepada peserta didik bukanlah sebagai profesi, melainkan menjadi seorang pendidik atau pengajar itu merupakan kewajiban dan panggilan jiwa untuk senantiasa memberikan tranformasi pada kehidupan sekitarnya, tidak lagi sekedar menjalankan profesi atau pekerjaan. Semua orang mempunyai potensi dalam kapasitasnya sebagai seorang pendidik yang visioner (orang tua kepada anak-anaknya, kakak kepada adiknya, guru kepada muridnya, dosen kepada mahasiswanya, seorang teman kepada teman-temannya yang lain, atau siapapun juga sebenarnya mempunyai potensi sebagai pendidik yang visioner bagi dirinya dan orang lain). Pendidik yang visioner selalu siap dan rela menshare atau berbagi pengetahuan dan pengalaman (ilmu) yang ia peroleh semata-mata untuk tranformasi diri dan lingkungannya.

Pengetahuan dan pengalaman dalam istilah ini saya sebut sebagai ilmu, sebab arti pembandingnya yakni “bodoh” adalah tidak tahu, dan “kebodohan” adalah ketiadaan pengetahuan dan pengalaman. Janganlah lantas marah maupun tinggi hati bila pada kapasitas tertentu kita dinyatakan “bodoh”, toh nyatanya kita tidak tahu ataupun tidak punya pengalaman pada hal tertentu. Jangan pula sedih bila kata “bodoh” itu mencap pada diri kita, karena kata “bodoh” yang di alamatkan pada diri kita merupakan sentuhan yang menyadarkan kita akan segala kekurangan dan keterbatasan ilmu yang kita miliki. Ilmu merupakan alat pengetahuan yang terus menerus berkembang lewat pengalaman seseorang ketika melakukan sebuah proses pemahaman, pengamatan, percobaan, dan pengujian atau analisis terhadap sesesuatu. Selanjutnya hasilnya berupa ilmu (pengetahuan dan pengalaman) tadi akan dtransfer dari pendidik atau pengajar kepada peserta didik yang dibantu dengan sarana dan fasilitas pendidikan.

Sarana dan fasilitas pendidikan di sini digunakan untuk memberikan visualisasi dari proses transfer ilmu tadi. Pada dasarnya sarana pendidikan ini bersifat fleksibel atau mudah dan sederhana untuk bisa kita hadirkan. karena semua yang ada di alam ini sudah merupakan sarana bagi pendidikan kita (di rumah, di kampus, di sekolah, di jalan raya, di pasar, di toko, di kampung, di kota, di hutan dan sebagainya), serta fasilitas pendidikan (terdiri dari berbagai jenis dan model peralatan atau peraga yang dibutuhkan untuk memberikan visualisasi selama mentransfer ilmu). Apapun bentuknya itu merupakan sarana dan prasarana yang dapat kita manfaatkan sebagai penunjang proses pendidikan yang ideal. Bisa kita bayangkan bagaimana serba terbatasnya sarana dan fasilitas pendidikan pada zaman dahulu, namun mampu memberikan pendidikan yang ideal dan mencerahkan. Semangat inilah yang saya maksudkan dengan Inovatif (baru). Apabila dibandingkan dengan pendidikan zaman ini yang serba modern dan otomatis, namun mengkerdilkan cara berpikir kita yang jauh dari ideal dalam memandang hidup dan kehidupan ini.








OUTBOND
(belajar lebih dekat dengan alam yang indah)


10 Januari 2008
 
  


10 Februari 2008
  
 

9 Maret 2008
  
 







Arsip Blog